Halaman

Senin, 05 Desember 2016

Kumpulan kisah kisah menyentuh hati dari buku "Kasih Selembut Awan"

Hari ini saya ingin berbagi beberapa cerita yang sangat menginspirasi saya dari buku yang berjudul "Kasih selembut Awan" karya Willy Yanto Wijaya. Semoga beberapa cerita di postingan ini dapat menginspirasi teman-teman semuanya





Belajar Cinta Dari Cicak

Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat.

Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek surat itu, ternyata surat tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.

Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikit pun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal.

Orang itu lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu! Bagaimana dia makan?

Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu. Apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. Kemudian, tidak tahu dari mana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di mulutnya..aahhh!

Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.

Sungguh ini sebuah cinta, cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? Tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.

Kau dan Aku
Ingatanku sejak dulu memang kurang baik. Dan kini ingatanku semakin kabur karena perjalanan waktu. Tapi kukira ada hal-hal yang masih tersimpan dengan begitu baik di kepalaku. Itu masa-masa paling bahagia dalam hidupku.
Kita masih sangat muda waktu itu. Aku baru beberapa hari dipisahkan dari ibuku. Sebetulnya aku sangat sedih. Untung masih ada kau yang menemaniku.

Usiamu sendiri masih sangat muda. Sekitar tiga tahun kalau tak salah. Langkah kakimu masih goyah. Ketika berjalan selalu berjinjit-jinjit kecil. Kau suka berlari dan ayah ibumu akan mengejarmu dengan panik.
Kau juga masih sering merangkak. Kau akan mencolekku dan membangunkanku dari tidur. Aku paling malas kalau dibangunkan. Tapi karena kau terus menggelitikku, aku pun bangun dan dengan manja naik ke pangkuanmu. Aku ingat kau seorang yang takut geli. Kau akan cekikikan karena merasa geli setiap kali aku memanjat pahamu. Aku sering melihatmu tertawa kegelian dengan air liur menetes dan bibir mungilmu yang merah berkilau tertimpa cahaya.

Sering, setelah kelelahan bermain seharian; kadang berkejaran, guling-gulingan atau lompat-lompatan; kita akhirnya tertidur saling berdekapan. Sungguh-sungguh kau adalah malaikat mungil yang begitu polos, lugu sekaligus menggemaskan ketika lelap. Siapa pun pasti jatuh hati padamu. Mungkin bahkan ada yang sekedar iseng untuk menoel pipi tembemmu yang kemerahan.

Terkadang aku menyesali pertumbuhanku yang terlalu cepat. Dalam setahun tubuhku tumbuh pesat. Sementara kau, berjalan saja masih kepayahan.

Ketika kau mulai bersekolah, aku dengan setia menunggumu. Sungguh bosan rasanya di rumah tanpa kau yang selalu bermain bersamaku. Aku sering tertidur ketika menunggumu. Tapi kemudian, aku hapal dengan jadwalmu. Aku bisa merasakan kehadiranmu sekitar lima menit sebelum kedatanganmu. Ya, aku seolah bisa melihatmu, mendengarmu dan membaui dirimu sebelum kau muncul di hadapanku. Dan aku akan segera menerjang ke arahmu ketika kaki pertamamu menjejak tanah. Terkadang aku melompat ke dalam mobil sebelum kau sempat turun.
Kau punya seperangkat alat masak-masakan. Terkadang aku menemaimu bermain. Aku tidak tau apa peranku di situ. Sebagai anak mungkin? Terkadang kita bermain bertiga atau berempat bersama anak tetangga. Tapi itu jarang terjadi. Oh ya, aku pernah merusak perangkat masak-masakanmu dan kau menangis tanpa henti. Aku merasa sangat bersalah tapi tidak bisa berbuat banyak. Kau baru tersenyum lagi setelah ibumu membelikan satu set baru. Tapi sejak saat itu, kau enggan mengajakku bermain masak-masakan lagi.

Kita juga sering jalan-jalan bersama di sekitar kompleks rumah. Terkadang lomba lari sampai kejar-kejaran. Rasanya masa-masa itu sungguh menyenangkan.
Pernah, ketika sedang jalan-jalan, beberapa anak nakal mengganggumu. Aku sangat marah dan membentak mereka. Aku menggemeretakkan gigi dan sorot mataku berubah garang. Aku sempat mengejar mereka hingga beberapa meter sebelum kau memanggilku kembali. Tapi aku masih tidak puas.  Aku sangat marah bila melihat ada yang mencoba menyakitimu. Dan ingin rasanya kuhajar mereka berkali-kali.

Aku masih ingat makanan kesukaanmu. Dan aku juga tau kau paling tidak suka makan sayur. Tapi lucunya, kau malah membuang sayuranmu ke mangkok makanku. Tentu saja kau ketahuan ibumu dan dimarahi. Kau harusnya tau, makananku berbeda dengan makananmu.

Terkadang kau kesepian karena ayah ibumu pergi. Kau anak satu-satunya dan hanya ada aku dan pembantu yang menemanimu. Ketika ibu dan ayahmu tak ada, kita sering main hujan hingga kuyub. Itu rahasia kita!
Kau cukup sering sakit. Fisikmu memang agak lemah. Ibumu sering menemani dan suka membacakan cerita. Aku turut mendengarkan. Aku hapal kisah-kisah seperti; Putri Salju, Pangeran Berkuda Putih, Cinderella dan Gadis Penjual Korek Api.
Karena terpesona dengan cerita-cerita di atas, kau pernah menggumamkan ingin mencari seseorang seperti Cinderella sebagai kekasih. Kau juga ingin menjadi pangeran berkuda putih.

Masa-masa saat kau masih kecil dipenuhi dengan keriangan kita berdua. Tapi waktu terus berjalan hingga tidak terasa kau mulai tumbuh remaja dan waktu kebersamaan kita semakin berkurang. Terkadang kau habiskan waktu seharian mengurung diri dalam kamar menonton televisi. Kau juga sering keluyuran bersama teman-temanmu. Jika kau akhirnya membawaku jalan-jalan, kau lakukan dengan berat hati karena tidak tahan dengan ibumu yang mengomeli. Ibumulah yang terus mengingatkanmu untuk membawaku jalan-jalan, memandikanku dan memberiku makan.

Pada akhirnya kusadari aku hanyalah menjadi beban bagimu. Kau tidak lagi suka menghabiskan waktu bersamaku. Aku juga semakin letih, dan merasa semakin lemah. Aku sudah tua. Jadi kupikir aku tidak ingin terlalu menyusahkanmu. Biarkanlah aku sendiri duduk di sudut rumah terisolasi dari dunia yang tidak akan pernah bisa  kuikuti. Aku sudah cukup bahagia bila setiap hari melihatmu baik-baik saja.

Aku hanya seekor anjing dan kau manusia. Tapi kukira persahabatan kita dulunya murni karena saling suka. Jika kau bisa melupakan masa kecilmu yang ceria ketika bermain bersamaku, maka jujur saja, aku tak bisa. Duniaku hanya terasa berharga karena kau pernah begitu bahagia oleh keberadaanku.

Aku menyaksikanmu tumbuh. Tapi aku sangsi kau akan menyadari kematianku. Aku seekor anjing dan kau manusia. Usia kita tidak sama. Dunia kita berbeda. Rasanya menyakitkan bila ternyata hal itu menjadi jurang pemisah di antara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar